Oleh : Rismayeti
A. Pendahuluan
Harun al-Rasyid (786-813M), adalah tokoh yang termashur dalam sejarah Islam dan juga khalifah pada pemerintahan Bani Abbasiyah yang yang paling terkemuka. Dalam sejarah Harun al-Rasyid memang dikenal sebagai pecinta ilmu pengetahuan, satra dan filsafat, serta pelindung besar perkembangan seni dan penerbitan buku. Dan begitu juga Putranya khalifah al-Ma’mun (813-847M). Pada dua pemerintahan sultan inilah dunia penulisan dan penerjemahan buku berkembang pesat, dan menjadikan Baghdad sebagai pusat kebudayaan dan peradaban terbesar didunia selama beberapa abad.
Pada masa khalifah Harun al-Rasyid Baghdad telah menjadi pusat perbukuan dunia pada masa itu. Di Khizanat al-Hikmah berkumpul banyak sekali Sarjana, sastrawan, penyalin naskah, ahli kaligrafi, illustrasi dll. Jarang dijumpai pada kebudayaan lain dimana dunia tulis menulis pada waktu itu memainkan peranan yang sangat penting seperti dalam halnya peradaban Islam, kehidupan yang berkembang di dalam masjid menyebar keluar, dan meninggalkan jejaknya dikalangan yang berpengaruh. Para pembesar dan orang-orang kaya mengumpulkan para ilmuwan dan sastrawan, dan merupakan hal yang lazim bagi seorang pembesar untuk mengadakan diskusi (majelis) sekali atau dua kali dalam seminggu.
Menurut beberapa ahli sejarah Islam ada beberapa faktor yang menyebabkan ilmu dan penulisan buku berkembang pesat di Baghdad pada waktu itu, antara lain karena :
1. Adanya hubungan yang dinamis antara kebudayaan Arab dan kebudayaan lain, yang telah maju sebelum datangnya agama Islam seperti Mesir, Babylonia, Yunani, India, Persia dan Cina.
2. Sejak Abad ke-9 M di negeri-negeri Islam telah tumbuh pusat-pusat kebudayaan, antara yang satu dengan yang lain saling berlomna mengembangkan kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Misalnya Madinah, mekkah, Fustat, Baghdad, Kurtuba (cordova), Damaskus, Kufa, Basra, Nisyapur, Isfahan dll.
3. Lembaga-lembaga pendidikan dan ilmu berkembang pesat, mengikuti perkembangan Mesjid dan lembaga keagamaan.
4. Raja-raja muslim, amir, bangsawan kaya, saudagar dan mentri-mentri yang berpengaruh memberikan dorongan dengan dana yang melimpah bagi pekermbangan tersebut.
5. Terdapat kebebasan berfikir dan mengemukakan pendapat yang dijamin oleh undang-undang.
6. Terbongkarnya rahasia pembuatan kertas di Cina melalui tawanan Cina yang ditangkap dalam pertempuran Baghdad dan Cina. Pada tahun 800 M Harun al-Rasyid meresmikan pembuatan pabrik kertas I terbesar di dunia Islam di Baghdad.

B. Pembahasan
1. Tahap Awal Penulisan/penerjemahan buku.
15 tahun kemudian khalifah mendirikan Khizanat al- Hikmah, yakni sebuah pusat perbukuan dan perpustakaan besar. Sampai pertengahan abad ke-9 M koleksi buku lembaga ini lebih kurang mencapai satu juta, dan pada tahun 891 M ahli sejarah mengatakan lebih kurang 800 perpustakaan yang ada di Bghdad baik pemerintah maupun swasta. Kemudian pada tahun 830 M khalifah al-makmun, mengembangkan lembaga ini menjadi sebuah lembaga pendidikan tinggi terkemuka yang diberi nama Bayt al-Hikmah, yakni balai ilmu pengetahuan dan penerjemahan.
Pada tahap awal buku-buku yang ditulis berdasarkan buku-buku lain (dari luar) mulai bermunculan. Dengan berlalunya waktu dan tersediaya tulisan-tulisan yang telah mendapat pengesahan dari pengarangnya, maka penyalin tulisan-tulisan tersebut tanpa bimbingan seorang guru, menjadi hal yang sangat mungkin. Al-Ishfahani dalam bukunya Kitab al-Aghani sering menggunakan pernyataan “Aku telah menyalin (nasakhtu) dari buku-buku ini. Dan juga ada istilah naqaltu (mengutip).
Penerjemahan besar-besaran buku – buku asing ini pada gilirannya merangsang orang-orang Islam berlomba-lomba menulis buku asli dan melakukan penelitian ilmiah. Untuk mendorong kegiatan ini hkalifah mendirikan lembaga tersendiri, dibawah pimpinan seorang guru besar. Selain itu dorongan untuk melakukan penelitian dan juga menghasilkan karya asli, dipicu oleh besarnya honorarium yang diberikan oleh khalifah kepada para penulis buku. Dan tidak mengherankan pada waktu itu buku yang dijual ditoko buku, dan yang disimpan di perpustakaan-perpustakaan begitu melimpah baik eksemplar maupun judulnya.
Ketekunan para ilmuwan pada waktu itu sangatlah mengagumkan dan sulit dibayangkan. Menurut Al-Nadim bahwa Al-Marzubani yang meninggal dunia setelah tahun 1000, telah menulis 37.580 halaman,Sedang Yaqut berhasil menulis 33.180 halaman. Ibn Hazm yang berasal dari Spanyol pada masa itu terkenal sebagai penulis 400 jilid buku yang secara total berjumlah delapan puluh ribu halaman. Dan seorang ahli sejarah berkebangsaan Mesir bernama Al-Sayuthi, menurut Ibn Ilyas buku-bukunya berjumlah 600 buku.
1.1. Al- Nadim dan kitab al-Fihrist
Sebagai penulis kitab al-Fikhrist sebenarnya dia adalah seorang pedagang buku, kecintaannya pada buku dan ilmu pengetahuan mendorong dia mendirikan sebuah toko yang besar yang dilengkapi dengan perpustakaan dan ruang diskusi. Kitab karangannya merupakan katalog yang lengkap dan uraian yang jelas pada zamannya. Setiap kali dia mengundang para cendikiawan, ilmuwan, satrawan, ulama dan sarjana untuk berjumpa ditoko bukunya, mereka selalu membahas berbagai masalah yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan, filsafat, agama dan kesusastraan.
1.2. Penyalin dan Penjual Buku
Seseorang yang berprofesi sebagai penyalin disebut Warraq (dari kata waraqa, “lembaran”). Sebagai pencatat ia disebut Nassakh. Karena setiap orang yang berkecimpung dalam penelitian harus melakukan banyak pencatatan, maka posisi seorang Warraq muncul secara alamiah ditengah aktivitas ilmiah. Banyak ilmuwan dan sastrawan penting melekatkan/mencantumkan al-warraq (si penyalin) dibelakang nama mereka. Melalui status ini terciptalah suatu gaya hidup yang memberikan manfaat paling besar terhadap perkembangan ilmu dan sastra. Gaya ini mencakup orang-orang dari semua tingkat pendidikan, termasuk pengarang-pengarang kenamaan. Seperti misalnya :
1. Yahya ibn ‘Adi (w.974) mencari nafkah sebagai penyalin, ia telah menyalin antara lain komentar Al-Thabari atas Al-Quran sebanyak dua kali, yang dalam edisinya sekarang terdiri dari 13 jilid dan tebal.
2. Ibn Al-Nadim penulis Fihrist, sebuah penelitian tentang bahasa Arab dan karya-karya sastra dari para pengarang terkenal, yang dahulunya adalah seorang Warraq.
3. Yaqut (pada mulanya adalah seorang budak yang telah dibebaskan pada tahun 1200) dan bekerja sebagai pencatat (nassakh) untuk mendapatkan nafkah, ia mnengisahkan tentang Muhammad ibn Sulayman yakni seorang hartawan yang menghamburkan semua kekayaannya. Sehingga yaqut harus menjadi seorang penyalin untuk mendapatkan penghasilan, sampai ia mendapatkan pekerjaan yang baru.
Para penyalin bekerja untuk para pengarang ataupun pejabat tinggi, serta orang-orang kaya yang ingin membangun perpustakaan. Hal itu terjadi pada masa awal pemerintahan Dinasti’Abbasiah, sekitar tahun 800, yakni ketika gerakan penulisan mulai memperoleh momentum dan kegiatan penerjemnahan literatur kuno mulai digiatkan. Terutama di akademi Al-Ma’mun yang baru, Bayt Al-Hikmah di Bagdad. Dan sejumlah besar penyalin dipekerjakan di sini.
1.3. Kisah dari ahli Filofofi besar yakni Abu ‘Ubaydah.
Abu Ubaidah menceritakan bagaimana seseorang yang berpengaruh untuk dapat memperoleh buku-buku. “ Abu ‘Ubaydah dibawa dari Basrah ke Bagdad oleh Ismail ibn Sabih, yakni seorang pejabat tinggi yang memegang peran penting di masa pemerintahan Harun Al-Rasyid. Ismail menyimpan buku-buku Abu Ubaydah, lalu mengundang seorang Warraq yang terampil yakni Al-Astram, yang diberi tempat tinggal disalah sebuah rumahnya. Ismail meminta Al-Astram untuk menyalin buku-buku tersebut, tetapi Al-Astram meminta orang yang lebih muda untuk mngerjakan penyalinan buku tersebut dalam waktu yang mereka sepakati. Konon Abu Ubaydah tidak terlalu senang dengan kegiatan penyalinan buku-buku tersebut dan dia tidak mengetahui terhadap apa yang dilakukan oleh Al-Astram tersebut. melihat dari kisah ini tentunya tidak dapat dipungkiri bahwa akan terjadi kesalahan-kesalahan tentang penyalinan (tidak akan terjaga orisinalnya).
1.4. Masa Khalifah Al-Ma’mun
Pada pemerintahan khalifah Al- Ma’mun (813-833), dia sangat mendukung terhadap aktivitas penerjemahan, dan juga mendorong penulisan karya-karya orisinal oleh penulis-penulis kontemporer. Karena itu dia mendekati ahli filologi Al-Farra’(w.820), dan memintanya untuk menulis suatu karya tentang bahasa. Dan khalifah juga memberinya beberapa juru tulis. Penyelesaian karya tersebut memerlukan waktu beberapa tahun. Kemudian Al-Ma’mun memerintahkan agar penulisan tersebut dilakukan di perpustakaan. Lalu AL-Farra’ mendiktekan secara umum sebuah buku tentang tafsir Al-Quran. Pendengarnya begitu banyak sehingga tidak terhitung jumlahnya. Namun ada 2 orang dari penyalin yang ikut pada waktu itu yakni Salama ibn ‘Ashim dan Abu Nashar ibn Al-Jahm. Ketika pendiktean telah selesai maka penyalin yang dua di atas tadi menarik kembali buku-buku itu dari orang-orang yang hadir dan meminta bayaran satu dirham untuk setiap 5 halaman. Orang-orang berdatangan kepada al-Farra’ dan mengeluhkan hal tersebut, dan Al-Farra’ berusaha membujuk para Warraq tersebut, tetapi usahanya sia-sia. Mereka berterus terang bahwa menyalin buku tersebut untuk mencari uang, Al-Farra’ tidak berhasil mempersatukan kedua belah pihak. Akhirnay Al-Farra’ mengumumkan untuk mengadakan pendiktean buku yang sama (tafsir Al-Quran) dalam bentuk yang jauh lebih panjang. Akhirnya para penyalin tersebut menyerah dan sepakat untuk memberikan apa yang diinginkan orang-orang tersebut, yakni 1 dirham untuk setiap sepuluh halaman.
Ternyata ada beberapa Warraq yang membuat salinan bagi orang-orang yang tidak dapat menulis sendiri, baik mereka yang tidak menghadirinya maupun karena mereka ingin mendengarkan pembicaraan itu, dan mereka sanggup untuk membayarnya. Dengan adanya penyalin-penyalin tersebut pengarang yakin bahwa bukunya akan tersebar luas. Namun kisah yang dituturkan di atas menunjukkan bahwa penyalin merupakan suatu kelas yang merdeka, dan antara mereka dan pengarang tidak ada komitmen ekonomi. Tekanan yang diberikan Al- Farra’ kepada mereka tergantung pada ancaman bahwa pendiktean yang baru akan membuat yang lama tidak bernilai.
Sejarah menunjukkan bahwa pada awal pemerintahan Dinasti ‘Abbasiah, pengarang mempunyai warraq khusus adalah hal yang biasa. Tentu saja ini bisa diartikan sekedar/seperti seorang sekteraris, yang menulis karya yang didiktekan pengarang kepadanya. Namun secara pola umum jelas menunjukkan bahwa warraq adalah pengusaha yang independen. Sepertinya tidak perlu dipermasalahkan bahwa warraq dan lain-lainnya menggunakan budak sebagai juru tulisnya dengan imbalan penghasilan yang cukup tinggi.
Sejarah mengatakan Ishaq ibn Ibrahim Al-Maushili (tahun 767) yang mempunyai keahlian khusus dalam membahas masalah nyayian, yang karangannya dijadikan dasar penulisan “Buku Nyanyian” oleh Al-Ishfahani mempunyai seorang warraq yang dinyatakan oleh putra Al-Ishaq, bahwasanya Warraq tersebut telah bekerjasama dengan rekannya untuk memalsukan karya tulis buku nyanyian tersebut, yang muncul dengan nama Ishaq setelah ia wafat. Al-Ishfahani menyatakan nama warraq tersebut dan tempat tinggalnya. Dan karena itu kedua warraq tersebut memberikan sentuhan/catatan akhir ketika menyalinnya. Ini menunjukkan bahwa pengesahan salinan-salinan yang dibuat oleh para juru tulis, tidak dilaksanakan secara konsisten. Mungkin hal tersebut tidak bisa terlaksana jika buku-buku tersebut diproduksi/dicetak dalam skala besar. Namun tentu saja salah satu diantara tugas-tugas penyalin tersebut adalah memeriksa, apakah yang ditulisnya itu sudah cocok dengan aslinya. Perbandingan naskah yang disebut muqabalah (pencocokan) adalah tahap yang diperlukan dalam hal penerbitan buku. Kadang-kadang seorang pemeriksa (muharrir), memperbandingkan naskah mungkin lebih efektif jika dilakukan dengan membaca keras dihadapan ilmuwan.
Kesempatan untuk membacakan salinannya dihadapan seorang ilmuwan kenamaan, selalu memberikan nilai tambah bagi seorang penyalin (warraq). Seperti halnya Al-Bahhathi yang hidup diabad kesebelas, dikatakan telah menyalin sebuah buku mengenai hadis Rasulullah. Ia membacanya kembali duhadapan dua oarng untuk menyimak (Qira’at sama’), kemudian membacakannya lagi sebagai pemeriksaaan perbaikan (Qir’at tashih wa itqan). Pemeriksaan terakhir berkenaan dengan ejaan dan hal-hal semacam itu. Sepertinya seorang pengarang mengesahkan sebuah buku dengan ijazahnya, begitu pula seorang ilmuwan ternama akan memberikan tanda sama’ yaitu semacam tanda bahwa ia telah memeriksanya, dengan mendengar naskah tersaebut dibaca ulang. Begitu juga halnya dengan Manuskrip, yang perlu diperiksa ulang didepan ilmuwan ternama.
Masalah ketidak tepatan dalam hal pencatatan atau penyalinan tentu masih ada, walaupun dengan adanya segala pemeriksaan tersebut. Namun dari waktu kewaktu para pengarang selalu mengeluh tentang para penyalin yang sulit dipercya. Makanya di akhir karya besar sejarahnya Al-Mas’udi mohon maaf atas keslahan-kesalahan yang mungkin terjadi karena kesalahan penyalin. Jadi jalan terbaik bagi pengarang adalah menulis karyanya sendiri, dan bagi ilmuwan pun mungkin yang paling baik adalah mencatat sendiri karyanya.
C. Peran al-Warraq
Namun peranan yang tidak kalah pentingnya pada masa khalifah Harun al-Rasyid, dalam proses demoktratisasi pengetahuan dan pengembangan perpustakaan pada saat itu juga berada ditangan Warraq (penyalin naskah). Pekerjaan seorang Warraq sangat kompleks, disamping sebagai penyalin naskah mereka juga seorang penjual buku. Disamping bekerja sebagai penyalin naskah dia juga bekerja sebagai pencari naskah dan sekaligus meminta izin kepada para pengarang buku untuk menyalin naskah karya mereka. Diantara Warraq yang terkenal pada waktu itu ialah al-Saubi, karena buku-buku yang disalin olehnya sangat bermutu, akurat, tulisannya indah dan bagus. Selain itu Warraq juga berperan sebagai penghubung antara pengarang buku dan pembaca. Lebih dari itu mereka juga dapat lisensi untuk mencetak dan menerbitkan buku, serta menjualnya. Sedangkan pengarang buku mendapatkan bagian keuntungan dari hasil penjualan buku tersebut.
Penyalin (warraq) adalah juga garis penyambung antara sastrawan/ilmuwan dan masyarakat umum. Sebetulnya mereka juga tergolong kepada sastrawan, tetapi kehidupan mereka tergantung pada pelipatgandaan karya-karya para penulis. Mereka juga penjual buku. Seorang warraq mempunyai kios/toko (hanut, dukkan) dimana pelaksanaan penulisan dan perdagangan buku berlangsung. Oleh sebab itu warraq mempunyai rasa dibutuhkan , baik sebagai wakil dunia pendidikan maupun pengusaha yang merdeka. Walaupun dia sebenarnya melaksanakan sejumlah pekerjaan didalam kiosnya sendiri, adalah hal yang lazim jika ia juga pergi bekerja pada orang lain untuk mendapatkan uang.
Buku-buku yang ditulis para warraq diterbitkan karena pesanan atau untuk dijual dipasar bebas. Untuk tujuan ini ia harus mendapatkan buku-buku tersebut dengan cara membelinya untuk dijual kembali. Setiap orang yang menginginkan karya tertentu akan datang kepada warraq dan memintanya untuk mencari buku tersebut. Penjualan buku dulakukan seperti perdagangan yang lain, pembeli dan penjual melakukan tawar menawar untuk sebuah buku seperti yang masih terjadi sampai sekarang. Kadang-kadang penjualan buku dengan cara lelang (nida’, “seruan”). Kios-kios buku bermunculan dimana-mana, sehingga mereka menempati daerah yang sangat luas dikota-kota yang disebutnya juga dengan pojok buku atau pojok warraq di bagdad.
Seorang warraq independen melakukan tugas yang dizaman kita dibagi antara percetakan dan penjual buku, dan juga dapt kita tambahkan yakni perusahaan penerbitan. Warraq yang bekerja pada seorang pengarang, yang mempunyai salinan pertama dari sebuah buku yang dutulisnya, adalah orang yang harus didekati oleh siapa saja yang menginginkan buku tersebut. Dalam sejarah juga dikatakan seorang warraq yang hidup pada pertengahan abad ke sepuluh menceritakan bahwa pada suatu hari ia sedang berpapasan dengan penyair Al-Nasyi’i yang berkata kepadanya, bahwa dia telah menciptakan sebuah qasidah (syair panjang dengan aturan tertentu) yang dinanti-nanti orang pada saat itu, dan dia menyuruh seorang warraq menuliskannya dengan tangannya sendiri supaya dapat diterbitkan dan dibawa ke toko buku oleh para warraq. Namun itu tidak berarti ia memperoleh hak penerbitan atas karya tersebut, selain dari salinan yang dibeli atau diterbitkannya sendiri.
D. Kedudukan Al-Warraq di Masyarakat
Sepanjang sejarah Islam penghasilan Warraq sangat besar, dan mereka mendapat kedudukan yang istimewa dalam masyarakat. Menurut Johannes Pedersen dalam bukunya the Arabic Book (Princeton 1984), ada dua lembaga kunci dalam industri penerbitan buku pada masa kejayaan Islam ialah :
a. Masjid : dari masjid inilah publikasi buku berasal.
b. Warraq : di tangan Warraqlah hasil akhir penerbitan buku dapat
diperoleh.
Pada zaman Abbasiyah Masjid merupakan pusat utama kegiatan intelektual Islam. Apabila seorang sarjana berhasrat untuk mengarang buku, pertama-tama dia membuat beberapa catatan, kemudian merubah catatan tersebut menjadi Muwaddah atau draf awal. Sebuah Muwaddah memiliki nilai tersendiri, namun belum dapat disiapkan sebagai bahan penerbitan buku sebelum seorang pengarang memunculkan karyanya dalam bentuk buku, dia muncul terlebih dahulu di Masjid dengaan membawa Muwaddah dan membacakan karangannya tersebut. Sedangkan khalayak mendengarkan dan Warraq menuliskannya diatas lembaran kertas. Tidak sedikit pengarang yang mendiktekan ribuan halaman naskah bukunya kepada para Warraq, seperti misalnya :
a. Filolog al-Bawardi, mendiktekan 30.000 halaman karangannya.
b. Al-Duddin al-Sayuthi, mendiktekan 600 naskah kepada para Warraq.
Selain itu naskah seorang Warraq tidak bernilai sebelum mendapat Ijazah dari pengarang. Proses untuk memperoleh ijazah ini sangat lama dan berbelit-belit. Ini berlaku dalam rangka menjamin hak cipta dan melindungi dari bahasa plagiat. Seorang Warraq harus membaca kembali naskah salinannya sampai 3 kali, dan setiap kali pembacaan, pengarang biasanya memberikan catatan baru, komentar atau atau tambahan keterangan, baru apabila pengarang sudah puas, sang penyalin (al-Warraq) mendapatkan ijazah/pengakuan, dan dia sudah berhak menerbitkan naskah itu dalam bentuk buku. Disamping itu Ijazah berperan pula sebagai tanda untuk memperoleh izin untuk menyalin sebuah karya. Namun tidak berarti seorang pemegang ijazah mempunyai hak cipta. Apabila seorang pengarang meninggal dunia, maka salinan naskah yang dibuat oleh Warraq harus dibacakan terlebih dahulu dihadapan seorang pakar dan seorang pakar akan memperoleh royalti untuk jasanya itu, dan dia juga berhak memberikan ijazah untuk naskah yang disalin si warraq.
Pembuatan kertas melahirkan profesi baru, yaitu warraq. Warraqin adalah para penjual kertas dan juga berperan sebagai agen. Mereka bekerja sebagai penulis yang menyalin berbagai manuskrip yang dipesan para pelanggannya. Mereka menjual buku dan membuka toko buku. Mereka mencetak dan menerbitkan buku, bahklan mereka juga pemikir dan intelektual. Sebagai penjual buku, warraqin mengatur segalanya, mulai dari mendirikan kios di pinggir-pinggir jalan hingga toko buku besar di pusat kota. Kendati begitu banyak kios yang dengan mudah dapat ditemukan, namun biasanya terletak di pusat-pusat kota.
Sebagai penyalin manusikrip, waraqin juga berperan sebagai ”mesin fotokopi’; sebuah manuskrip setebal seratus halaman dapat disalin dalam sehari-dua hari! namun sebagai seorang intelektual waraqin sering kali menuliskan komentar dan kritik mereka di pinggir halaman buku. Bahkan lambat laun, tradisi ini berkembang menjadi industri penerbitan, dengan kerjasama antara para penulis, warraqin dan tentunya penerbit. Dalam tradisi penerbitan awal ini sangat menarik dan begitu menjunjung tinggi tradisi ilmiah Islam. Ketika seorang penulis ingin menerbitkan buku di sebuah masjid atau tempat penerbitan. mereka meminta warraqin yang sudah ditunjuk dan beberapa kalangan pemikir dan sarjana untuk mendiskusikan, apakah buku itu layak diterbitkan dan dibaca oleh kalangan luas. Akan tetapi kemampuan seorang warraqin dalam menerbitkan buku, tergantung pada ijazah sang penulis, jadi tidak sembarangan buku diperbanyak sebelum diketahui kualitasnya.
Tak terhitung banyaknya buku di seluruh dunia Islam yang diterbitkan dengan metode penerbitan semacam ini. Industri penerbitan yang mendominasi kerajaaan Islam sejak abad ke-8 hingga abad ke-15 merupakan industri yang sungguh menakjubkan. Namun ia bukanlah sekedar Industri. Buku yang telah susah payah disalin dan diterbitkan, layak untuk dilestarikan. Pada awalnya para pecinta buku mewariskan koleksinya ke Masjid, tempat–tempat suci dan sekolah. Dengan berjalannya waktu Perpustakaan Masjid segera tumbuh bak cendawan di musim hujan.
Bahkan tradisi ini berkembangng lagi karena tingginya apresiasi masyarakat pada ilmu pengetahuan, dan yang tidak kalah penting adalah, adanya keinginan penguasa dalam mendirikan perpustakaan yang lebih besar. Tidak diragukan lagi, perpustakaan terbesar dan terkenal di dunia Islam adalah Bayt al Hikmah (Rumah Kebijaksanan). Sebuah kombinasi dari lembaga penelitian, perpustakaan dan biro penerjemahan yang didirikan oleh khalifah Harun Al Rasyid, tahun 830. Selama berabad-abad ia dikunjungi oleh para sarjana terkemuka, seperti al Kindi, al Khawarizmi (w.850), kemudian Ishaq bin hunain(w. 910), seorang dokter terkenal dengan menulis risalah kedokteran.9
Selama lebih dari 800 tahun, peradaban Muslim sepenuhnya menjadi peradaban buku. Ia dibangun oleh sebuah buku (Al Qur’an), digerakkan oleh konsep ilmu untuk memperoleh dan menyampaikan berbagai pengetahuan, dengan perhatian utama berupa penerbitan dan penyebaran buku. Jadi tidak mengherankan jika sains, filsafat, kedokteran, arsitektur, kesenian sastra dan kritisisme tumbuh subur. Namun, penerbitan dan pembacaan buku yang tak tertandingi ini telah menjadi sumber utama perhatian masyarakat muslim tertentu, yaitu ulama. fenomena ini menunjukkan bahwa reaksi umat Islam terhadap produk percetakan sangat berbeda dengan reaksi awal mereka menemukan kertas.
E. Kesimpulan
Masalah ketidak tepatan dalam hal pencatatan atau penyalinan tentu masih ada, walaupun dengan adanya segala pemeriksaan tersebut. Namun dari waktu kewaktu para pengarang selalu mengeluh tentang para penyalin yang sulit dipercya. Makanya di akhir karya besar sejarahnya Al-Mas’udi mohon maaf atas kesalahan-kesalahan yang mungkin terjadi karena kesalahan penyalin. Jadi jalan terbaik bagi pengarang adalah menulis karyanya sendiri, dan bagi ilmuwan pun mungkin yang paling baik adalah mencatat sendiri karyanya.
Ibn Khaldun (w.1406) menyatakan dalam Muqaddimah dalam karya sejarahnya mengatakan, mengenai kebudayaan pada zamannya yang mana perkembangan yang terjadi dalam kesusastraan telah melahirkan suatu pekerjaan bagi warraq yang berkaitan dengan pencatatan, pembacaan ulang, penjilidan dan segala yang berhubungan dengan buku. Ini menunjukkan betapa pentingnya pekerjaan warraq dalam dunia perbukuan.
Dizaman sekarang ini, ketika sebagian besar buku yang dijual telah dicetak dengan mesin, penjual buku pada saat sekarang ini tentu saja tidak sama sebagai mana masa dahulu, tugas penyalin telah digantikan oleh mesin cetak, namun perdagangan buku masih berlanjut seperti sedia kala, dan penjual buku adalah penerus kaum warraq di masa yang lalu. Jika orang menginginkan penyalinan sebuah teks, maka ia tinggal menyerahkannya kepada percetakan, persis seperti ketika ia menyerahkannya kepada juru tulis. Akan tetapi sampai saat sekarang ini, pekerjaan seorang penyalin belum punah atau habis secara keseluruhan. Para Ilmuwan baik dari Eropah maupun dari Timur sering membutuhkan salinan suatu Manuskrip dari perpustakaan di Timur. Dan ini telah memberikan pekerjaan bagi penyalin (al-Nassakh), kembali seperti masa awal dahulu.

Daftar Pustaka
Abduh 87. 2010. “ Membincang Ilmu dan Tranformasinya dalam Tradisi Ilmiah Islam”. Dalam http://abduh87.multiply.com/journal/item/10/10/ diakses pada 27 Nopember 2011 pukul 20:00 Wib.
Abdul Hadi W.M. 2010. “Masa Keemasan Islam Masa Keemasan Buku”. Dalam http://www.scribd.com/doc/44109501/Masa-Keemasan-Islam-Masa-Keemasan/ diakses pada 25 Nopember 2011 pukul 20:40 Wib.
Pedersen, Johannes. 1996. “ Fajar Intelektualisme Islam” Buku dan Sejarah Penyebaran Informasi di Dunia Arab : Bandung, Mizan.

About rismayeti

moto : Sehat itu adalah anugarah yang paling indah dan harus disyukuri

Tinggalkan komentar